aditz' blog

Talk Less Do More

Iseng-iseng aku buka data di laptop, dan hasilnya aku nemu cerpen yang aku buat pas SMA dulu. Hmm...gmana ya ceritanya?? Liat aja langsung...
Btw, kalo jelek jangan diketawain ya... hehe..

Pagi itu Bu Nancy, guru matematikaku membagikan hasil ulangan kemarin. Dan lagi-lagi nilai ulangan Anggi lebih tinggi dari pada nilai ulanganku. Padahal biasanya nilaiku paling bagus di antara teman-teman sekelas dan Anggi sering di peringatkan karena nilainya seringkali tidak lulus. Dan karena aku kasihan pada Anggi, maka sebagai sahabat, aku selalu mengajarinya.


“Huh, Kenapa nilaiku tak lebih baik dari pada nilai Anggi?” gerutuku dalam hati.


“Makasih ya No, berkat bantuanmu aku bisa mendapatkan nilai baik lagi.” Kata Anggi dengan tersenyum padaku dan akupun balas tersenyum meskipun terpaksa. Lalu aku segera berjalan meninggalkannya.


Dengan wajah kebingungan, Anggi mengejarku. “No, kamu kenapa? Sakit ya?” Tanya Anggi dengan penuh perhatian.


“Ehmm... nggak kok, aku nggak sakit” jawabku sambil tersenyum.


Kupercepat langkahku menuju ke perpustakaan. Aku tak mau Anggi mengetahui perasaanku padanya. Entah sampai kapan aku bisa menyembunyikannhya.


“No, nanti sore belajar bareng lagi, ya!” tanya Anggi beberapa hari kemudian ketika ulangan matematika akan kembali di adakan.


“Sorry Gi, aku nggak bisa” tolakku berbohong. Kulihat kekecewaan di matanya dan jujur aku belum bisa melihat Anggi lebih berhasil daripadaku.


Tiap kali dia memintaku, aku selalu menolaknya. Anggi akhirnya mulai menjauh dariku. Dan aku pun bersahabat dengan orang lain. Aku merasa ada sesuatu yang hilang dari persahabatanku dengannya. Tapi aku tak tahu caranya bersahabat tanpa rasa iri pada sahabatku.


Siang ini Anggi kembali mendapat teguran dari Bu Nancy. Lagi-lagi nilai ulangannya tak lulus. Aku melihat Anggi yang tertunduk lesu. Sesaat kemudian Bu Nancy menghampiriku dan memberi pujian padaku karena nilaiku tertinggi di kelas. Tapi kali ini aku tak bangga dengan nilaiku ini. Kesedihan Anggi membuat kebanggaanku hilang.


Hatiku mulai tergerak untuk menolong Anggi. Tapi bagaimana jika nilai Anggi kembali melebihi nilaiku. Berbagai perasaan bercampur aduk dalam hatiku. Tiba-tiba aku tersadar. Aku bukanlah sahabat yang baik. Bukankah seharusnya seorang sahabat yang baik akan senang jika melihat sahabatnya berhasil? Dan lagi, ilmu tak akan berkurang meskipun dibagi-bagikan. Buktinya Bu Nancy, beliau tetap pintar meskipun telah memabagi-bagikan ilmunya pada ratusan bahkan ribuan muridnya.


Lalu kenapa nilaiku turun waktu itu? aku menginstropeksi diri dan ternyata waktu itu aku terlalu percaya diri sehingga aku kurang teliti dalam menuliskan jawabanku. Sehingga aku mendapatkan nilai yang kurang baik.


Akhirnya aku mengajak Anggi untuk belajar bersama lagi. “Sungguh?” tanya Anggi tak percaya. Dia tampak begitu gembira.


Aku mengangguk mantap. “Aku tunggu di rumahku ya! Jam enam nanti” Ketulusan hati yang sungguh keluar dari dalam hatiku. Aku ingin melihat Anggi sukses. Bahkan aku siap jika nilaiku dilampauinya.


Sorenya, sudah jam setengah tujuh tapi Anggi belum datang juga. Apa dia marah padaku? Apa mungkuin dia mau membalas penolakanku padanya? Atau…? Segera kubuang jauh-jauh pemikiran burukku. Sambil menunggu, aku belajar terlebih dahulu dengan mengerjakan soal-soal.


Tiba-tiba kudengar suara memanggilku dari luar rumah. Ternyata Anggi sudah datang.


“Ayo masuk. Aku sudah menunggumu dari tadi” ajakku


Anggi tertawa “Aku sudah selesai belajar, makanya aku telat, Kamu sudah selesai belajar juga kan?”


“Sudah sih, tapi bukannya kita mau belajar barsama?” aku balik bartanya.


“Setelah aku pikir-pikir, aku lebih baik berusaha sendiri. Baru nanti yang tidak aku mengerti aku tanyakan padamu.” Jelas Anggi.


“Terus kamu sudah bisa?” tanyaku. Anggi mengangguk dengan mantap.


“Kita cari makan aja, No!” ajak Anggi padaku.


“Ok kalau kamu memang sudah bisa. Tapi apa kamu yakin kamu bisa melebihi nilaiku?” tanyaku dengan bercanda.


“Kita lihat aja besok!” jawab Anggi dengan optimis. “Siapa yang nilainya lebih rendah, harus traktir nasi ayam, ya!”

0 comments:

Posting Komentar

Cinta adalah dorongan yang lebih kuat daripada apa pun. Cinta tidak kasat mata—tidak dapat dilihat atau diukur—tetapi cukup kuat untuk mengubah Anda dalam sekejap, dan menawarkan kepada Anda lebih banyak kebahagiaan daripada benda apa pun yang mungkin dapat Anda miliki.

Barbara De Angelis, Ph.D.

About Me